Kisah nyata. Suamiku orang baik. Namun, dia begitu sibuk bekerja hingga membuat kami tidak memiliki banyak waktu untuk berkomunikasi. Yah, itu memang kewajibannya sebagai suami, tapi aku juga butuh perhatian darinya.
Bagaimanapun aku ini wanita normal yang memerlukan kasih sayang dan cinta. Aku bukanlah pajangan seperti manekin di etalase toko; jika dibiarkan, lalu untuk apa menikah?
Telah berlalu satu tahun semenjak pernikahan. Tak ada yang berubah dari suamiku. Dia masih sibuk bekerja dan bekerja. Kuakui, dalam perihal materi dia benar-benar mencukupi; aku tak pernah merasa kekurangan sedikit pun. Namun, apalah arti bergelimang harta, jika kebutuhan batinku tak terpenuhi?
Aku tidak bekerja. Keseharianku hanya di rumah saja. Hal tersebut menjadikanku cukup aktif di sosial media. Dan ketahuilah, aku bukan wanita yang suka menanggapi keisengan laki-laki lewat inbox medsosku.
Akan tetapi, sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga.
Kisah ini bermula saat aku berkenalan dengan seorang lelaki melalui media sosial. Awalnya, aku tak terlalu menanggapi, tapi secara kebetulan aku dan dia satu daerah serta orang tua kami pernah saling kenal. Jadilah hari itu aku bertukar pin BBM dengannya. Sebut saja nama lelaki itu Bram.
Komunikasi akhirnya terjalin. Perkenalan dengan Bram seolah menjadi kesibukan baru bagiku. Obrolan semakin intens.
Suamiku tak pernah memberi perhatian lebih apalagi berniat memeriksa isi chat handphone-ku. Sungguh sudah kukatakan dia begitu sibuk bekerja. Mungkin, dia sudah lupa padaku–anggap saja begitu.
Bram begitu perhatian dan selalu ada saat aku membutuhkannya. Dia senantiasa menanyakan kabar dan keadaanku; sesuatu yang tak aku dapatkan dari suamiku. Karena terus menerus diabaikan dan merasakan ketidakpuasan batin, hatiku mulai hinggap kepada Bram.
Bram akhirnya menyatakan cinta dan aku menyambutnya. Saat itu dia mengaku sebagai seorang duda dan juga belum memiliki pekerjaan yang cukup baik. Bagiku tak masalah, yang penting dia mau memenuhi hatiku yang hampa dan mau menambatkan hati walau aku sudah bersuami.
Karena berada di daerah yang sama kami akhirnya bertemu. Berjalan berdua layaknya sepasang kekasih. Indah sungguh indah; apa yang nampak di depan mataku; semuanya terlihat membahagiakan.
Tak peduli berapa banyak biaya yang kugelontorkan setiap kali pergi bersamanya. Yang penting aku senang, itu saja. Lagi pula, suamiku tak pernah bertanya uangku habis ke mana dan dipakai untuk apa.
Aku berada di rumah saat dia pulang, menyiapkan kebutuhan dan keperluannya, serta memberikan pelayanan bila dia menginginkan; demikian sudah cukup baginya.
Memasuki tahun kedua pernikahan, hubunganku dengan suami tak ada yang berubah. Dia masih sibuk bekerja dan tetap dingin seperti biasa. Sedang hubunganku dengan Bram masih tetap berlanjut.
Menginjak tahun ketiga, semua masih sama. Suamiku dengan kesibukannya dan bersikap baik terhadapku. Dia memenuhi segala materi, tapi tidak dengan kebutuhan batinku. Jalinan cintaku dengan Bram juga masih berlanjut; bahkan bisa dikatakan kami layaknya suami istri.
Jangan tanya ke mana—tentu setiap tempat yang menarik telah kami sambangi. Sungguh, karena mabuk asmara, aku dan Bram pun melakukan hubungan terlarang itu. Yah, kami berzina. Saat itu aku tak ambil pusing. Karena suami tak pernah mencukupinya, maka Bram lah yang menunaikan tugas suamiku yang satu ini.
Waktu terus berlalu. Hingga suatu ketika sebuah rahasia tentang Bram terungkap. Tenyata dia masih beristri dan memiliki anak. Rasanya aku tak percaya. Namun, sekuat apa pun aku menolak, itu memang sebuah kenyataan.
Tentu aku sakit hati dan kecewa dengan Bram. Anehnya, aku tetap ingin bersamanya dan masih bersedia menjalin hubungan dengannya.
Dia bahkan meyakinkanku, bahwa istrinya tak mempermasalahkan perselingkuhannya denganku. Seolah ini adalah angin segar, tapi juga keanehan bagiku.
Karena penasaran, kukatakan pada Bram bahwa aku ingin bertemu dengan istrinya. Dia pun menyanggupi.
Maka kami membuat rencana. Kebetulan, saat itu musim batu akik. Aku meminta pada suami untuk mengantar ke rumah Bram dengan dalih mencari batu akik. Dia rela meninggalkan kesibukan bekerja karena aku sedikit memaksa. Dan dia tak pernah tahu bahwa itu rumah selingkuhanku.
Ternyata memang benar apa yang Bram katakan, bahwa istrinya tak terlalu peduli dengan perselingkuhannya.
Aku terus menjalin hubungan dengan Bram. Berbuat maksiat dan dosa tanpa henti. Aku benar-benar lupa daratan. Tak terasa, sudah 4 tahun berlalu. Aku terus berasyik masyuk tanpa ketahuan. Tapi, menginjak tahun ke lima pernikahan, entah apa yang terjadi pada suamiku. Dia mulai berubah.
Pelan namun pasti, sikap dinginnya mencair. Dia mulai perhatian dan berkasih sayang padaku. Memenuhi kebutuhan materi dan batinku. Saat itulah aku tersadar, bahwa aku telah mengkhianatinya. Empat tahun! Yah, empat tahun aku mengkhianatinya.
Karena semua kebutuhanku tercukupi, aku mulai menjauhi Bram. Bahkan tak bertemu lagi dengannya. Beberapa kali dia mencoba menghubungiku, tapi kubalas dengan kata kata kasar.
Aku benar-benar memutuskan komunikasi dengannya dan bersungguh-sungguh meninggalkannya.
Belakangan aku baru tau, Bram dan istrinya memang bekerja sama. Bram diizinkan untuk selingkuh asal bisa mendapat uang dari selingkuhannya. Itu terbukti saat aku menelusuri jejak kehidupan Bram.
Aku ingin berkata jujur pada suami tentang semua yang kusembunyikan di belakangnya; tentang perselingkuhanku, tapi aku sama sekali tak memiliki kekuatan melakukannya.
Sekarang, sudah 12 tahun berlalu dan aku masih tak sanggup mengungkapkannya. Lidahku benar-benar kelu.
Aku benar-benar merasa berdosa karena telah melakukan hubungan suami istri dengan lelaki lain dan sangat menyesalinya. Namun, aku juga tak memiliki keberanian untuk berterus terang. Aku bingung.